Obrolan tentang seks dengan anak-anak tidak harus dibumbui dengan persepsi tabu atau sungkan, dan tidak mesti dalam suasana yang resmi. Obrolan juga bisa dimulai dari orang dewasa atau muncul dari rasa ingin tahu si anak sendiri kok. Obrolan santai tentang pendidikan seks sebaiknya juga disesuaikan dengan usia dan sejauh mana pengetahuan anak saat itu; bisa dimulai dari mengenalkan bagian-bagian tubuhnya, misalnya pada anak balita.
Informasi mengenai organ dan kegiatan seksual yang benar sangat penting diberikan sejak anak-anak, karena diharapkan saat tiba saatnya anak menentukan keputusan yang berhubungan dengan hal tersebut, dia tidak akan kebingungan dan justru memilih hal yang salah. Misalnya, saat usia remaja ia diajak untuk berhubungan seksual yang beresiko (dipaksakan, dengan orang yang tidak dikenal, tanpa pengaman, atau dengan kekerasan), ia bisa menolak melakukan hal tersebut. Contoh dari betapa kurangnya pendidikan seks pada anak Indonesia adalah semakin banyaknya kehamilan remaja, bahkan anak, di sekitar kita. Seorang anak usia sepuluh tahun tentu tidak kompeten untuk menentukan apakah hubungan seksual yang ia lakukan dengan temannya akan berujung kehamilan dan persalinan, yang mungkin ia belum mampu melakukannya. Baca beritanya di sini.
Menurut Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI (Infodatin) tahun 2012, alasan remaja melakukan hubungan seks pra-nikah sebagian besar karena penasaran/ingin tahu (57,5% laki-laki), terjadi begitu saja (38% perempuan), dan dipaksa pasangan (12% perempuan). Menurut United Nations Development Economic and Social Affairs (UNDESA) tahun 2010, Indonesia menempati ranking dua di ASEAN dengan jumlah pernikahan remaja tertinggi setelah Kamboja. Kehamilan remaja beresiko tinggi terhadap kesehatan ibu dan bayinya, sehingga akan menambah beban sosial dan ekonomi bagi keluarga dan negara. Remaja perempuan yang hamil tersebut lebih banyak di pedesaan dibanding perkotaan, dengan minimnya pengetahuan tentang seks disana.
Dengan berbekal pengetahuan mengenai hubungan seksual yang aman, sehat, dan sadar akan resiko yang ditimbulkan, seseorang akan terhindar dari posisi yang rentan akan hubungan seksual yang dipaksakan, penyakit menular seksual, dan kehamilan yang tidak diinginkan. Pendidikan seks yang dimulai sejak dini dan berkelanjutan akan membuat generasi muda mampu melindungi kesehatan fisik, mental, dan menimbulkan rasa menghargai diri sendiri.
Orang dewasa yang mengajak anak atau remaja berdiskusi mengenai topik ini sebaiknya melakukan secara bijak, dengan mempertimbangkan usia dan keadaan mental anak, serta seks dari segi biologis, sosial-budaya, psikologis, dan agama. Anak harus diajak memahami seks dari segi positifnya, bukan malah dihindari, diejek, atau disembunyikan karena rasa malu atau takut yang berlebihan. Usahakan untuk menahan judgement atau penilaian kita sebelum mendengarkan anak bercerita. Ajak untuk mengobrol tentang kapan dan bagaimana hubungan seksual yang aman dan sehat seharusnya dilakukan.
Menurut asosiasi dokter anak Amerika (American Academy of Pediatrics), pendidikan seks bukan lagi sekedar belajar organ seksual dan fungsinya di sekolah. Peran orangtua sangat dibutuhkan untuk membiasakan anak sharing atau curhat tentang pertanyaan seputar seksualitas dan mencari jawabannya dari sumber yang terpercaya, misalnya orang tua sendiri atau dokter. Pendidikan seks juga dapat mencegah dan terbukti menurunkan resiko kehamilan remaja, infeksi HIV, dan penyakit menular seksual.
Sumber:
Infodatin Kemenkes RI 2012
(photo credit: Ken Treloar / @kentreloar from unsplash.com)
No comments:
Post a Comment